Time Will Heal Your Pain
Manusia harus pandai bersyukur katanya. Dan, ya, gue bersyukur masih dikasih kesempatan hidup sampai saat ini. Karena, untuk bisa sampai ke hari ini adalah hal yang nggak mudah bagi gue. Hari di mana akhirnya gue bisa sepenuhnya menjadi pribadi yang baru, pribadi yang bisa sayang seutuhnya sama diri sendiri.
Napak tilas pada kejadian dua tahun lalu, hari yang tadinya selalu gue anggap sebagai runtuhnya dunia seorang Reihansa Buana. Gue sedang gila-gilanya mencintai seorang Isaadora Kamila saat itu. Meskipun ditempa ujian berkali-kali, gue tetap dengan butanya mencintai dia. Walau satu dunia meneriaki gue agar keluar dari lingkaran setan tersebut, tapi gue dengan naifnya masih bertahan dengan dalih “Manusia pasti akan berubah”.
Tapi kamu nggak begitu, Saa.
Satu kali, dua kali, hingga kesekian kalinya Isaa berbuat salah masih saja gue maafkan. Putus asa dan frustasi adalah teman gue pada masa itu. Semua kesempatan yang gue beri padanya seakan hanya angin lalu. Jauh di lubuk hati gue, gue sangat mengharapkan agar Isaa mengerti bahwa gue hanya ingin memiliki hubungan yang sehat. Hingga akhirnya Isaa sendiri yang memilih meninggalkan gue.
Satu bulan, dua bulan, hingga tak terasa sudah dua tahun. Ya, butuh waktu dua tahun untuk gue akhirnya bisa seutuhnya move on dari Isaa. Berkonteplasi juga mawas diri adalah rutinitas baru gue. Hal yang mungkin dulunya tak bisa Isaa temukan dari diri gue, sekarang ada. Tapi apakah hal tersebut lantas membuat gue mau memperjuangkan lagi seorang Isaa?
Tentu tidak.
Biarkan gue menjadi pribadi yang hari ini hadir. Biarkan gue menunjukkan pada dunia, bahwa gue sudah tidak lagi terbelenggu dalam permainan busuk seorang Isaadora Kamila.
Setelah akhirnya lulus kuliah dari prodi Broadcasting, gue memutuskan untuk memulai karir sebagai asisten produser pada sebuah acara televisi. Dan kalau lagi nggak ada jadwal shooting begini, gue beralih profesi menjadi supir pribadi ibu. Kemanapun ibu pergi, sejauh apapun itu, pasti gue antar. Seperti hari ini, ibu ada janji temu dengan client di sebuah kafe dalam mal di daerah Jakarta Selatan.
Kami sampai duluan ternyata, gue pun memutuskan untuk memesan camilan dan minuman sementara ibu mencari tempat duduk. Setelah pesanan jadi, gue lalu bergegas membawa camilan tersebut menghampiri ibu. Seraya berjalan membawa nampan berisikan beberapa croissant dan juga dua gelas kopi, gue bisa mendapati punggung tak asing tengah duduk di depan ibu.
“Nggak mungkin itu dia.”
Gue terus merapalkan kalimat tersebut dalam hati. Berharap bahwa ia hanya mirip saja dengan seseorang yang sudah gue sumpah mati tak mau lagi gue temui.
Namun agaknya Tuhan tidak mendengar keluh sambat gue. Karena begitu gue sampai tepat di meja ibu, ia sontak membelokkan wajahnya ke arah gue. Bahkan kami sempat adu tatap selama beberapa detik.
Itu betulan dia.
Isaadora Kamila is here, everyone.
Mendadak suasana jadi hening. Baik ibu, gue, Isaa juga mamanya. Gue masih hafal betul wajah mamanya Isaa, tante Rumi. Hal yang paling gue ingat dari beliau adalah betapa lezatnya soto tangkar buatannya.
Keheningan masih terus menyelimuti kami semua hingga menit ke sepuluh sejak kedatangan gue. Ibu menjadi orang pertama yang memecahkan keheningan.
“Nak Isaa masih ingat, kan, dengan Reihan?”
Gue sontak menoleh ke arah ibu. Raut wajah ibu sulit diartikan sekarang.
“Hehe iya ingat, tante.” Jawab Isaa canggung.
Setelahnya suasana perlahan kembali mencair. Ibu kembali melanjutkan obrolannya dengan mamanya Isaa, sementara gue dan Isaa hanya terdiam. Sesekali bisa gue rasakan bahwa Isaa mencuri-curi pandang ke arah gue. Gue berusaha mengalihkan fokus dengan terus memainkan ponsel.
Hingga akhirnya suara ibu berhasil menginterupsi kegiatan gue. Lagi-lagi gue tidak bisa mengartikan apa maksud perkataan ibu.
“Nak Isaa bosan ya? Mas Reihan, tolong dong ajak Isaa jalan-jalan. Sekitar sini saja, mas. Barangkali ada yang mau dilihat-lihat sama Isaa.”
Gue mengernyitkan alis gue. Lalu setelahnya membawa ibu keluar dari kafe sejenak.
“Ibu kenapa ngomong kayak gitu barusan?” Tanya gue baik-baik.
“Mas Reihan, anak ibu.” Ibu meraih kedua punggung tangan gue.
“Ibu nggak ada maksud apa-apa. Ibu cuma nggak enak aja sama Rumi, mamanya Isaa. Ajak jalan-jalan doang nggak akan berarti apa-apa kok, mas. Ibu yakin Nak Isaa sudah nggak kayak dulu lagi.” Jawab Ibu lembut seraya mengusap punggung tangan gue.
“Tapi, Bu…” gue masih berusaha mengelak.
“Mas, ibu butuh konsentrasi buat ngomongin bisnis ini sama Rumi. Ibu janji deh buat selesain urusannya segera. Tolong, ya?” Ibu tahu betul bagaimana caranya memainkan kelemahan gue. Raut wajahnya yang memelas itu mau tidak mau membuat gue mengiyakan perintahnya.
Maka di sinilah gue sekarang, jalan berdua Isaa di area mal ini dalam keadaan yang sangat amat canggung.
Kami terus menyusuri area mal sampai akhirnya sekelompok orang terdiri dari tiga orang menghampiri kami. Dua dari mereka membawa kamera, sedang satunya memegang mikrofon dan fishbowl.
“Halo, kalian lagi senggang, gak?” Tanya mas mas yang memegang mikrofon dan juga fishbowl tersebut.
Gue mengusap tengkuk gue setelahnya menjawabnya dengan gelengan.
“Kenalin, gue Junior Yeenz. Pernah dengar nama itu, gak?” ia memperkenalkan diri dengan antusias.
“Tau. Yang youtuber itu bukan, sih?” jawab sekaligus tanya Isaa.
“Seratus buat mbak cantik! Oh iya, jadi tujuan gue ngehampiri kalian adalah mau wawancara sedikit, nih. Mau?”
Saat gue hendak menolak, Isaa keburu menyambar mengiyakan ajakan youtuber tersebut.
“Gue gak nanya banyak, kok. Okay, kita mulai sekarang, ya!”
“Eh tapi sebelumnya kenalan dulu, dong! Mbaknya namanya siapa?” Junior mengulurkan tangannya pada Isaa.
“Isaadora.” Jawabnya seraya menjabat tangan Junior.
“Kalau masnya?”
“Reihan.” Jawab gue.
“Okay, mas Reihan, mbak Isaadora. Ini gue ada fishbowl isinya beberapa pertanyaan seputar relationship. Nah masing-masing boleh ambil satu, setelahnya silakan dijawab.” Niat tidak niat, gue dan Isaa secara bergantian mengambil kertas pertanyaan dari fishbowl tersebut.
Setelah diambil, Junior memberi kesempatan pertama untuk Isaa membacakan pertanyaan dan menjawabnya.
“Silakan, mbak Isaadora dibaca pertanyaannya.”
“Kamu tipe orang yang seperti apa ketika pasanganmu lagi curhat atau ketika lagi kasih advice ke kamu?”
Mendengar pertanyaan tersebut, gue jadi sedikit nostalgia masa-masa dulu kami masih pacaran. Diingat-ingat lagi, Isaa ternyata tidak bisa menjadi pendengar yang baik. Ia seringkali bahkan tak hadir disaat gue tengah membutuhkannya. Entah sudah berapa kali juga Isaa tidak mendengarkan beragam advice dari gue yang berujung dengan ia mengulangi kesalahan yang sama.
Beberapa detik kami saling terdiam hingga Isaa pun akhirnya menjawab. “Aku sih merasanya tipe yang mendengarkan dengan baik dan berusaha memvalidasi seluruh perasaan pasanganku. Lalu aku pasti bakal dengerin dan lakuin advice dari pasanganku.” Gue pun terkekeh mendengar jawaban Isaa.
Nah, Isaadora, you never do that to me.
“Kalau bro Reihan gimana, nih?” Tanya Junior beralih ke gue.
“Ya kurang lebih sama. Cuma bedanya saya bukan tipe yang suka kasih advice. Terakhir ngasih advice ke pasangan nggak didengerin, sih. Jadi, cukup validasi saja perasaannya.” Isaa, I hope you know to whom I am being sarcastic like this.
Bisa gue lihat raut wajah Isaa berubah menjadi kebingungan setelah mendengar jawaban gue.
“Waduh agak parah, ya, kalau sampai nggak di dengar. Padahal pasti maksud mas Reihan baik, ya. OK, moving on to the next question! Silakan, mas Reihan.” Gue pun membuka gulungan kertas tersebut lalu membaca pertanyaannya.
“Kalau kamu memergoki pasangan kamu bermesraan sama cowok atau cewek lain, bagaimana reaksimu?” sebuah smirk kecil terbit di bibir gue.
Lagi-lagi gue dibawa melambung jauh ke memori ketika gue memergoki Isaa tengah bermesraan dengan lelaki lain di area kampus. Waktu itu, untuk marah saja gue tidak bisa. Gue membiarkan diri gue jatuh dalam buaian Isaa yang mengatakan bahwa lelaki tersebut hanya temannya.
Teman mana yang sampai bermesraan segitunya, Saa?
Hal tersebut tak hanya terjadi sekali, namun hingga tiga kali. Bahkan dengan lelaki yang berbeda. Dan lagi, hingga yang terakhir kali pun, gue masih tidak bisa marah dengan Isaa. Di titik tersebut lah emosi Isaa membuncah. Ia luapkan seluruh keluh kesahnya pada gue. Mengatakan bahwa gue terlalu membosankan sehingga hubungan ini perlu diberi tantangan. Klimaks dari pertengkaran tersebut adalah Isaa meninggalkan gue.
“You are just too flat, Han. I can’t handle it anymore!” Begitu saja tuturnya setelahnya lantas pergi meninggalkan gue.
Dan itulah yang gue maksud sebagai runtuhnya dunia seorang Reihansa Buana.
Gue masih terdiam selama berapa detik sampai Isaa menyenggol lengan gue. Gue hanya menaikkan alis sebagai jawaban.
“Itu jawab, ditungguin.”
Alih-alih menjawab, gue malah memberikan kesempatan untuk Isaa kembali menjawab terlebih dahulu.
“Aku? Aku maafin, dengan syarat dia mau berubah,” haha I used to do that, but then found out that it’s not working.
Lalu setelahnya barulah gue menjawab.
“I dunno? Maybe akan saya tinggal. Karena menurut saya itu sudah termasuk selingkuh. So, I don’t want to waste my time with wrong person.” Reihan yang kamu lihat sekarang bukan lagi Reihan yang dulunya maha pemaaf atas segala salahmu, Saa.
“Wow lagi-lagi jawaban kalian bertolak belakang, ya. But that’s okay. Makasih banyak ya buat partisipasinya, mas Reihan juga mbak Isaadora. Tapi sebelum kita tutup wawancaranya, boleh tau gak sih kalian ini hubungannya apa?”
“Kami pa-“
“Dia mantan saya.” Ucap gue menyambar jawaban Isaa.
Junior mendadak kikuk setelah mendengar jawaban gue. Namun setelahnya masih berusaha membangun suasana.
“Nggak mau balikan aja, mas? Mbaknya caktik lho ini.” Gue mendecih mendengar ucapan Junior.
“Balikan apanya?” setelahnya gue langsung melenggang pergi meninggalkan mereka semua, termasuk Isaa.
Gue melanjutkan aktivitas gue mengitari isi mal ini. Ibu tak kunjung mengabari gue, hal tersebut menjadikan mood gue semakin turun. Tak lama kemudian, seseorang menepuk bahu gue kencang. Gue membalikkan badan, dan ternyata itu Isaa.
“Apa?” Tanya gue dengan ekspresi datar.
“Lo emang harus segitunya banget ya tadi, Han?” ia berbalik tanya pada gue.
“Lo mau gue kayak gimana lagi, Saa? Dulu gue berusaha sebaik mungkin aja lo malah bosen. Gue cuma mau hubungan yang sehat tapi lo nggak ngerti. Tiga tahun, lho, gue habisin waktu gue untuk setia sama lo, bahkan lo selingkuh pun masih gue maafin. Terus sekarang salah kalo gue pengin lebih perduli sama diri gue sendiri?”
“Lo jangan merasa yang paling tersiksa deh, Han. Gue juga ngerasain sakitnya. Or maybe it could be twice as much as you feel.” Gue mendecih mendengar perkatannya barusan.
“Simpan rasa sakit lo sendiri, gue gak mau tahu seberapa pedih rasanya. Karena lo sendiri juga dulu dengan gak tahu dirinya merusak kepercayaan yang udah gue kasih ke lo.” Bulir air mata mulai membasahi pipi Isaa, yang setelahnya langsung ia usap dengan kasar. Kami pun kembali terdiam setelahnya.
Beberapa menit kami bertahan dalam posisi saling membelakangi diri, hingga akhirnya gue mendapati pesan dari ibu yang mengatakan bahwa urusannya dengan tante Rumi sudah selesai.
“Gue mau balik, ibu barusan bilang urusan sama nyokap lo udah selesai.” Gue perlahan berjalan meninggalkan Isaa.
Namun, di langkah ke tujuh gue berhenti. Gue balikkan arah tubuh gue menghadap ke Isaa.
“It’s over, Saa. Nikmati aja rasa sakit yang lagi lo rasa sekarang. Biarin waktu yang bekerja, karena begitulah cara gue dulu untuk berdamai dengan segala rasa dan masalah yang ada.”
“Yes, you meet the new version of me, now. But, the version of me now can no longer be fooled by love.”